Bahaya Menonton TV dan Kartun bagi Anak-Anak

0

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr Wb,

Siapa sih yang tidak ingin anaknya bisa tumbuh sesuai zamannya, sesuai kata ahli hikmah Ali bin Abi Thalib Ra, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya…” Anak adalah anugerah yang teramat indah bagi kita semua para orang tua sekaligus amanah dari Allah SWT untuk menjaga dan mendidiknya agar tumbuh menjadi Muslim yang baik..Betapa banyak orang tua memohon dan berdoa kepada Allah untuk diberikan momongan, namun apa daya takdir Allah masih berkata lain..Namun, bukan berarti dengan adanya anak kita merasa bangga, karena bukan hal yang mudah bagi kita untuk mendidiknya sesuai norma-norma Islam dan akhlak yang mulia. Terutama dimasa sekarang, yang menuntut anak kita didik sesuai zamannya dengan segala fasilitas-fasilitas yang memudahkan namun terkadang menipu.

Kita tidak boleh menyalahkan masa atau zaman, namun situasi dan kondisi yang ada pada saat ini sangatlah sulit untuk kita bisa mendidik anak-anak kita sesuai Islam. Terlebih ditengah kondisi masyarakat yang mengalami degradasi (kemerosotan) moral, nilai-nilai agama Islam yang tengah diabaikan begitu saja tanpa acuh, arus budaya barat yang serba permissive (serba bebas), dan ditambah lagi oleh peran media massa yang “sepertinya” tidak lagi mengabaikan asas kepatutan dalam menyebarkan informasi sesuai norma-norma etika, budaya, dan agama.

Berat memang menjadi orang tua, tetapi itulah indahnya hidup yang diberikan oleh Allah. Bagaimana kita bisa menjaga anak-anak adalah peran orang tua, bahkan peranan Ibu sebagai garda terdepan untuk anak-anak dari segi pendidikan. Ada kata mutiara dari bahasa arab, “Al Ummu madrasatul awlad”, atau dalam bahasa Indonesianya, Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Untuk itu, tulisan ini saya persembahkan kepada para Ibu maupun calon Ibu, dan juga ayah sebagai kepala keluarga.

Dalam tulisan saya sebelumnya mengenai “Lady Gaga” yaitu “Benarkah Lady Gaga tidak berbahaya bila dibiarkan konser di Indonesia?” saya mengulas sedikit tentang bahaya subliminal message atau yang lebih dikenal sebagai pesan-pesan tersembunyi dalam suatu media komunikasi. Mungkin kita sudah banyak mengetahui bahwa semasa anak-anak dalam masa pertumbuhan sangat cepat dalam menyerap kondisi sekitar untuk dipelajari. Oleh karena itulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab baik itu mempunyai itikad business yang tidak baik maupun yang ingin menanamkan paham-paham yang bertentangan dengan Islam mengerti sekali kapan sebaiknya dalam mempengaruhi pikiran anak-anak kita, dan menggunakan cara apa.

Dalam era modernisasi seperti sekarang, peran media elektronik, baik itu televisi dan internet, sangat berpengaruh dalam ekosistem pembelajaran anak-anak. Tidak bisa dipisahkan antara anak-anak dengan televisi pada masa kecilnya. Namun apakah semua yang ditayangkan ditelevisi itu baik adanya? Ternyata tidak, karena pertama, televisi adalah suatu jenis media komunikasi elektronik SATU ARAH dalam mengirimkan pesan, tanpa bisa disortir. Anak-anak kita tanpa sadar hanya melihat, mendengar, dan menganalisa suatu informasi yang ditayangkan oleh televisi; dan kita tahu how exactly effective when audio and visual combined together as a method of communication. Apalagi dengan kesibukan kita saat ini, terkadang para orang tua dalam mendidik anak-anaknya seringkali tidak ada waktu, sehingga seringkali menyerahkan aktifitas anak-anak kepada televisi. Padahal sejak 12 tahun yang lalu, Journal of Pediatric Psychology telah mempublish peringatan tentang adanya bahaya adanya penyimpangan behavior anak-anak melalui media televisi dengan konten-konten yang tidak sesuai.

Kartun adalah salah satu jenis tipe ilustrasi 2D/3D yang sering ditampilkan ditelevisi dan sangatlah popular oleh anak-anak. Ternyata apa yang sering ditonton oleh anak-anak, yang kita sangka2 aman, ternyata tidaklah sepenuhnya benar. Mungkin ini terdengar sedikit mengada-ada bagi sebagian orang, tetapi bagi saya, saya himbau kepada para pembaca untuk mengecheck kebenarannya, toh tidak ada salahnya kan =).

Banyak sekali pesan-pesan negative yang tersembunyi dalam kartun populer dimasa lalu dan kini, yang sifatnya merupakan suatu itikad untuk memasukkan pemahaman yang menyimpang kepada anak-anak kita sedari dini. Berikut saya akan coba ulas beberapa yang bisa kita lihat bersama, sbb:

– Various subliminal Message on Cartoons

– Disney Subliminal Message

– New Disney Subliminal Message (Yang sekarang ada di cable TV)

– Disney female characters moral teachings to our kids

Apa yang kita bisa dapatkan dari semua itu:

– Sex

– Violence

– Simbol-simbol Illuminati

Gambar yang menyeramkan dari kartun-kartun yang kita kenal:

This slideshow requires JavaScript.

Ada tulisan bagus untuk menjelaskan lebih lanjut ttg sepak terjang Disney dalam subliminal message:

sila didownload disini

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa hal tersebut tidak akan berpengaruh kepada anak2. Hal tersebut hanyalah kebetulan. Tetapi itu tidaklah mengubah fakta bahwa hal-hal yg ditunjukkan tadi memang ada. Bahkan kalau mau jujur, Disney seringkali dicomplaint oleh orang2 Amerika yang kritis karena hal2 tsb, walaupun sampai detik ini saya blm mendapatkan Disney dipersalahkan oleh Pengadilan. Maksimal yang Disney lakukan adalah recall DVD “Little Mermaid” dikarenakan ada gambar tidak senonoh (maaf..pendeta sedang ereksi) dan mengeditnya (Ada didalam gambar diatas).

Dan yang paling mengerikan adalah adanya teknik menggambar yang tidak senonoh diblur kan dengan gambar lain. Videonya bisa dilihat dibawah ini:

Bisa dibayangkan apa dampaknya apabila hal-hal seperti ini keexposed kepada anak-anak yang belum mengerti. Naudzubillahi min dzalik, yang ada mereka malah bisa permisive atau lebih tolerance kepada hal-hal seperti itu. Coba kita ingat-ingat dulu sewaktu saya masih SMA, sekitar tahun 1998-00 disekolah saya apabila ada wanita yang memakai rok diatas lutut maka akan mendapatkan peringatan lisan, selanjutnya masih lisan, dan yang ketiga adalah surat peringatan kepada orang tua. Tetapi sekarang, fenomena K-Wave yang sangat mewabah menjadikan hotpants menjadi “lumrah..”…artinya degradasi moral terjadi secara perlahan-lahan..dan saya yakin asal muasalnya salah satunya adalah dari hal-hal yang anak-anak tonton atau lihat sewaktu kecil, belum lagi ditambah arus budaya barat yang hedonis yang tidak dibendung oleh pemerintah.

Saya mohon kepada pembaca diluar sana untuk lebih concern terhadap hal-hal ini, Allah mengamanahkan kita untuk menjaga dan mendidik anak-anak kita…mari kita bentengi keluarga kita dari unsur2 asing yang mengkhawatirkan, untuk membuat peradaban Islam yang lebih baik di masa depan, aamiin

;

Mengapa Kita Menolak RUU Kesetaraan Gender ?

0

Ditulis oleh DR. Adian Husaini*

Harian Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita – sebagai Muslim – harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut?

Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 — selanjutnya kita sebut RUU KKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dan sebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini.

Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)

Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.

Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum.

Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya.

Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah: 31).

Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.

Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yang baik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup di bumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.

Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan dunia mana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijab qabul.

Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kita lihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di Indonesia.

Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat – termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan.

Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja.

Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujung kepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati.

Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahan tanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai laki-laki).

Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraan gender” seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saat ini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).

Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki dan perempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikan juga:

“Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” (pasal 1:4).

Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim – atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yang menerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuk laki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena melakukan diskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukuman pula. Bagaimana jika kita membeda-bedakan jumlah kambing untuk aqidah antara anak laki-laki dan perempuan?

Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.

Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan. Dan sebagainya.

Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan ditafsirkan dalam perspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani, karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanya melihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat.

Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggi kepada perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecil ketimbang laki-laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, sama dengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-laki berjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagi keluarga. Dan sebagainya.

Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jika dilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih dari satu tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporan yang lebih banyak kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi di akhirat. Sangat berat tanggung jawabnya.

”Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU ini sangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak timpang. Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah ”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir.

Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jika ia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat. Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwa tindakannya adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dalam berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi, justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Dengan berorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadi indah. Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender – seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima Allah SWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? Seorang Muslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah, manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau memang Tuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlu segala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!” Na’dzubillahi min-dzalika.

****

Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan gender” saat ini telah menjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender ini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan publik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-olah mereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki.

Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun ke berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang juga sudah dipengaruhi Islam.

Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak mengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepada nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah akademik yang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUU Kesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebih menambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT, pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT.

Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil-shawab.*/ Jakarta, 16 Maret 2012

*DR. ADIAN HUSAINI, lahir di Bojonegoro pada 17 Desember 1965. Pendidikan formalnya ditempuh di SD-SMA di Bojonegoro, Jawa Timur. Gelar Sarjana Kedokteran Hewan diperoleh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, 1989. Magister dalam Hubungan Internasional dengan konsentrasi studi Politik Timur Tengah diperoleh di Program Pasca Sarjana Universitas Jayabaya, dengan tesis berjudul Pragmatisme Politik Luar Negeri Israel. Sedangkan gelar doktor dalam bidang Peradaban Islam diraihnya di International Institute of Islamic Thought and Civilization — Internasional Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM), dengan disertasi berjudul “Exclusivism and Evangelism in the Second Vatican Council: A Critical Reading of The Second Vatican Council’s Documents in The Light of  the Ad Gentes and the Nostra Aetate.