“Bayang-Bayang Penjajahan VOC Bisa Terulang dengan UU Kesehatan Omnibus Law “

0

“Bayang-Bayang Penjajahan VOC Bisa Terulang dengan UU Kesehatan Omnibus Law “ Zainal Muttaqin Ahli Bedah Saraf, Guru Besar Undip Semua anak bangsa di negeri ini tentu tidak akan pernah lupa sejarah penjajahan Belanda di Bumi Pertiwi ini yang berlangsung sampai lebih 300 tahun.

Sejarah menunjukkan bahwa awal dari kisah penjajahan ratusan tahun tersebut bermula dari kehadiran kongsi dagang Belanda yang dikenal dengan sebutan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang bertujuan untuk berdagang atau mencari sumber penghasil rempah-rempah di Asia, khususnya di Indonesia.

Keinginan untuk menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah ini didukung penuh oleh pemerintah Belanda dengan adanya Oktrooi atau hak-hak istimewa seperti hak untuk memiliki tentara sendiri, hak untuk bernegosisasi sampai menyatakan perang lalu merebut dan menduduki negara lain serta memungut pajak.

Dengan hak-hak istimewa inilah VOC yang oleh masyarakat disebut sebagai “kompeni” (dari kata Compagnie) berusaha menguasai dan memonopoli perdagangan bukan cuma rempah-rempah tapi juga merambah ke hasil bumi lain seperti teh, padi, kedelai, tebu, dan kopi, dengan ancaman kekerasan dan penindasan terhadap penduduk lokal.

VOC bahkan sampai membunuh dan mendeportasi hampir seluruh penduduk pulau Banda, lalu mengisinya dengan tenaga para budak yang bekerja di perkebunan pala.

Dengan cara yang licik dan tentu saja janji manis pada segelintir penguasa yang mau berkhianat pada rakyat dan bangsanya, sejengkal demi sejengkal tanah pertiwi jatuh dalam kekuasaan Kompeni.

Negeri yang besar dengan sumber daya alam yang melimpah ini akhirnya terpuruk sebagai negeri jajahan dan rakyatnya hidup sebagai budak yang melayani kepentingan bangsa penjajah dikarenakan para pemimpin yang lengah dan bodoh, disadari atau tanpa disadari mau berkolaborasi, bahkan menjadi kaki-tangan Kompeni.

Sebagaimana kita ketahui bersama, kesan muatan utama RUU Kesehatan Omnibus Law ini adalah membangun ekosistem investasi dan industrialisasi kesehatan.

Sebagaimana dikutip dari http://liputan6.com, RUU ini akan jadi pintu masuk kapitalisme global, dimulai dengan kemunculan BGSi (Biomedical and Genome Science Initiative) yang diinisiasi oleh Menkes, dan oleh Menko Luhut dinyatakan sebagai hasil dari kunjungan ke Tiongkok. “Ini adalah hasil kerja sama dengan Beijing Genomic Institute (BGI)”, kata Luhut saat menghadiri peluncuran BGSi di Gedung Eijkman, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Minggu 14/8/2022.

Berdasarkan sumber informasi di atas, implementasi BGSi akan dilaksanakan di tujuh RS Vertikal milik Kemkes. Saat ini ada 12 mesin WGS dan akan ditambah lagi 48 mesin yang akan disebar ke berbagai RS rujukan nasional. Dengan BGSi, Menkes menargetkan dalam dua tahun ke depan ada 10.000 Whole Genom Sequence (WGS) manusia Indonesia yang terkumpul dan diteliti guna pemetaan varian data genomik populasi penduduk Indonesia.

Sebagai sebuah bigdata, data genomik memiliki dua sisi, di satu sisi bermanfaat untuk penelitian terkait vaksin dan obat yang presisi, tapi di sisi lain juga menciptakan peluang untuk kapitalisasi tanpa kontrol biodata WGS manusia Indonesia oleh pihak asing, bahkan bisa dijadikan alat bio-weapon atau senjata biologis yang presisi yang tentu saja mengancam kelangsungan masa depan bangsa ini. Berdirinya BGSi atas inisiasi Menkes yang tiba-tiba, seolah makhluk ajaib yang tidak jelas siapa bapak dan ibunya ini patut dipertanyakan (apalagi bila dikaitkan dengan dimatikannya Lembaga Eijkman sesaat sebelum BGSi lahir).

Landasan berdirinya BGSi tidak tertuang dalam Permenkes No. 13-2022 tentang Renstra, bahkan juga dalam RPJMN Kesehatan 2020-2024. Yang jelas dan diakui, berdirinya BGSi adalah hasil kerja sama dengan Beijing BGI.

Dengan teknologi yang memang dipasok oleh BGI, serta keterlibatan mereka dalam pengumpulan data genomik ini, patut dipertanyakan sejauh mana regulasi yang secara hukum bisa melindungi data genomik manusia Indonesia.

Rakyat mesti tahu bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law memberikan ruang intuk transfer spesimen, serta data dan informasi genomik ini ke luar wilayah Indonesia. Mengutip dari http://rferl.org, kecurigaan dan kehati-hatian terkait dengan kerja sama dengan BGI ini bukan mengada-ada.

Di beberapa negara Uni Eropa, saat ini BGI sedang dalam penyidikan terkait dugaan misuse atau penyalahgunaan data genetik. Kantor Berita Reuter, pada tahun 2021, melaporkan adanya dugaan pengumpulan dan pemanfaatan data genetik oleh BGI bekerja sama dengan Militer China.

Pada bulan Oktober 2022, Pentagon bahkan memasukkan BGI dan 12 perusahaan China lainnya dalam daftar hitam karena diduga kuat memiliki hubungan dengan Militer China. Sebelumnya, pada tahun 2019, harian New York Times memaparkan bukti-bukti penggunaan data genetik untuk kepentingan yang bertentangan dengan hak asasi manusia oleh Otoritas China terhadap kaum minoritas Uyghurs yang kebanyakan menganut agama Islam (30/12/2022, laporan oleh Mila http://Djurdjevic.rferl.org) “Tidak ada makan siang gratis”, itu ungkapan yang seharusnya ada di benak para petinggi negeri ini ketika terjalin kerja sama lintas negara.

Lemahnya pemahaman dan wawasan geopolitik para pejabat dan perumus kebijakan terkait pengetahuan genomik ini dikhawatirkan akan bisa berakibat fatal bagi bangsa dan negara ini.

Sebagaimana pernah terjadi di masa lalu, VOC yang semula datang hanya sebagai kongsi dagang (sebagaimana juga BGI saai ini), yang bekerjasama dengan sebagian pejabat kerajaan maupun tokoh lokal yang haus akan kekuasaan telah menjadikan bangsa ini hidup sengsara sebagai budak dan bangsa jajahan sampai ratusan tahun kemudian.

Hal lain yang menarik untuk ditelaah adalah politik devide et impera atau politik pecah belah lalu dikuasai yang dilakukan VOC dalam menghadapi kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal Nusantara.

Dalam Buku Sejarah Indonesia Modern karya MC Ricklefs (1981), dijelaskan bagaimana VOC menaklukkan kesultanan Makassar dan Gowa dengan dibantu oleh raja Bone yang sedang berseteru dengan Sultan Hasanuddin.

Demikian pula keberhasilan VOC mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa dan menguasai Banten dengan cara bekerja sama dengan Sultan Haji yang punya ambisi kekuasaan.

Dengan cara yang sama, Kerajaan Mataram berhasil dipecah menjadi empat kerajaan kecil-kecil, dua di Surakarta, dan dua di Yogyakarta. Bahkan setelah proklamasi kemerdekaan-pun politik pecah belah ini masih terus dilakukan oleh penjajah dengan membentuk “negara boneka” seperti Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, dll.

Kalau kita ingat secara runtut, menkes membangun narasi yang cenderung memecah belah antar organisasi profesi (OP), dan menumbuhkan rasa saling curiga dan tidak percaya antar anggota OP.

Dimulai dari narasi dokter vs perawat, lalu narasi terkait isu pemerasan dalam pengurusan STR dan SKP oleh IDI, dilanjut dengan narasi tentang sekolah spesialis yang akan dipermudah dan bebas biaya bagi para dokter lulusan baru (dengan menganggap spesialis senior dan IDI sebagai biang kerok kecilnya kesempatan sekolah spesialis selama ini).

Semua narasi tersebut bisa dibilang cocok dengan politik devide et impera yang dilakukan oleh para tokoh VOC seperti Pieter Broth (1610-1614) dan Frederik de Houtman (1605-1611). Selain itu muncul panggung resmi yang disediakan untuk kelompok organisasi profesi abal-abal dan sempalan.

Sebaliknya OP resmi yang sah dan diakui negara malah dipojokkan dengan banyak tuduhan keji yang cenderung fitnah, hanya karena berbeda pendapat terkait RUU Kesehatan.

Semua ini ternyata dilakukan demi bisa menguasai seluruh tata kelola dokter dan nakes di bawah genggaman kekuasaan Kemmenkes, betapa naif dan kerdilnya pola pikir ini.

Penulis berharap agar bangsa ini, khususnya para pemimpinnya bersikap lebih arif dan bijak, serta benar-benar menghayati nilai-nilai dasar demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berhak untuk hidup sehat dan sejahtera.

Oleh karena itu swastanisasi dan komersialisasi pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas tidak boleh terjadi. Informasi kesehatan, khususnya informasi genomik rakyat Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk kepentingan dan penyalahgunaan yang bisa merugikan bahkan bisa mengancam dan membahayakan kehidupan rakyat.

Rakyat punya hak untuk tahu sejauh mana program WGS dan kerja sama dengan BGI ini akan menguntungkan atau malah berpotensi mengancam kedaulatan kita sebagai bangsa yang merdeka.

Mengapa para ilmuwan dan perguruan tinggi kita seolah bungkam dan membiarkan para politisi memutuskan sendiri persoalan yang mahapenting ini. Untuk memenuhi tujuan tersebut diperlukan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, serta penyusunan RUU Kesehatan yang merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020.

Partisipasi publik bermakna tidak sebatas pemenuhan hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), melainkan pula menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan masukan pendapat rakyat (right to be considered).

Bahkan bila pendapatnya tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapat penjelasan atau jawaban (right to be explained).

Sebagaimana dikuti, tidak adanya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik yang bermakna inilah yang jadi salah satu dari tujuh alasan desakan penundaan pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law ini (konferensi pers di kantor YLBHI, Selasa (13/6/2023). https://kumparan.com/zainalmuttaqin

Tulisan terbaek dari Prof @ZainalM_Prof

#TolakRUUKesehatanOmnibusLaw

#TolakRUUKesehatanOBL

A Comprehensive Analysis of Indonesia’s Evolving Political Landscape

0

Photo by TayebMEZAHDIA on Pixabay

Indonesia’s politics have experienced significant changes over the past few decades, evolving from a system characterized by authoritarian rule to a more democratic structure. The political landscape in Indonesia is shaped by multiple factors, including religion, patronage politics, and the historical context of the country. This article offers a comprehensive analysis of Indonesia’s political situation, paying particular attention to the emergence of political polarization and the challenges it presents to the nation’s democratic institutions.

The Foundations of Indonesia’s Political System

Indonesia’s Democratic Evolution

Since the fall of Suharto’s New Order regime, Indonesia has been on a journey toward becoming a full-fledged democracy. The political system is now characterized by popular sovereignty, with parliamentary and presidential elections held every five years. While these elections are generally considered free and fair, the country still faces issues related to corruption, nepotism, and money politics.

The Role of Religion

Religion, particularly Islam, plays a significant role in Indonesia’s politics. The Islamic pluralist divide is a key aspect of the political landscape, with parties and politicians often aligning themselves with either Islamic or pluralist principles. This divide can be traced back to the nation’s pre-independence period when political movements mobilized around the role of religion in the state.

Trias Politica: Executive, Legislative, and Judicial Branches

Indonesia’s political system is built on the concept of trials politica, which separates power among the executive, legislative, and judicial branches. The current administration, led by President Joko Widodo, has been in office since 2014 and will govern until the next elections in 2024.

The Emergence of Political Polarization in Indonesia

A Shift in Indonesia’s Political Landscape

Indonesia has experienced a notable increase in political polarization since 2014, with the Islamic pluralist divide becoming more pronounced. This development has been particularly evident during the 2014 presidential election, the 2017 Jakarta gubernatorial election, and the 2019 presidential election. The competition between President Joko Widodo and his former opponent, Prabowo Subianto, has ignited tensions between Islamists and pluralists in Indonesia’s politics. To the recent news, emerging more favorably yet undoubtedly rising in popularity Anies R. Baswedan, former Indonesian Capital Governor, has been posed and deemed challenged by others in contestation.

Factors Driving Political Polarization

Several societal and political forces have contributed to the growing polarization in Indonesia’s politics. Patronage-driven politics, which incentivize politicians to collaborate across ideological lines in pursuit of state resources, have continued to play a role in shaping the political landscape. Additionally, the leadership style of former president Susilo Bambang Yudhoyono, who prioritized stability and compromise over conflict, contributed to a lack of polarization during his time in office.

The Impact of Political Polarization on Indonesia’s Democracy

Challenges to Democratic Institutions

There’s an idea that the increasing polarization in Indonesia’s politics poses a threat to the country’s democratic institutions. However, as the Islamic pluralist divide becomes more salient, it has the potential to undermine the stability and functioning of the political system. With the growth of three potential Presidential candidates, Islamic fundamentalists tend to favor Anies R. Baswedan as their potential elected President, rather than other candidates. The last Presidential Election in 2019 proves that Prabowo has further distanced himself from his main follower, by neglecting essential issues related to Islamic Fundamentalists stakeholders. Furthermore, the growing divide may also exacerbate social tensions and contribute to a more divided society.

The Role of Patronage Politics

Despite the challenges presented by political polarization, patronage politics continue to play a role in blunting ideological divides in Indonesia. The pursuit of state resources incentivizes politicians to cooperate across ideological lines, which can help to mitigate some of the tensions associated with polarization. However, this dynamic also weakens democratic accountability and may contribute to ongoing issues related to corruption and nepotism.

The Future of Indonesia’s Politics

Navigating Political Polarization

As Indonesia’s political landscape continues to evolve, the nation will need to find ways to navigate the challenges posed by increased polarization. Addressing the underlying issues that drive political divisions, such as corruption and patronage politics, will be crucial to fostering a more stable and inclusive political system.

Strengthening Democratic Institutions

In recent news lately, President Joko Widodo make a very clear standpoint to daddle in the next Presidential Election, “Cawe-Cawe” or meddling in the system in pursuit of the greater good of the nation was a statement that has made difficult for others to believe the next Presidential Election will be running in fair and objective without intervention. People in the Republic of Indonesia also has been shocked due to the recent appeal at MK in the Election Method, which was previously Open Proportional to become Closed Proportional. It is with great effort since Soeharto’s regime fell, the Reformation process was to ensure Indonesian people knew whose they are choosing, instead of choosing Political Party(s). Expert(s) in a Political standpoint has made critics both in media social or online news media, trying to explore the possibilities should the Election Method is really returning back to Closed Proportional.

To secure the future of Indonesia’s democracy, efforts must be made to strengthen the nation’s democratic institutions. This may involve implementing reforms to promote greater transparency, accountability, and public participation in the political process, as well as addressing the ongoing challenges related to corruption and nepotism. Citizen journalism is also encouraged to be the party that balanced and checks for the Government in the media social and imposes constructive ideas and critics for this upcoming election to be fair and just.

Conclusion

The evolving political landscape in Indonesia presents both challenges and opportunities for the nation’s democracy. While the increasing polarization has the potential to undermine democratic institutions and social cohesion, it also offers a chance for Indonesia to address the root causes of these divisions and work towards a more inclusive and accountable political system. By understanding the complexities of Indonesia’s politics and taking steps to strengthen democratic institutions, the country can continue on its path toward a more stable and prosperous future.

Indonesia’s politics, political polarization, Islamic-pluralist divide, patronage politics, democratic institutions